Sarjana Ilmu Komunikasi |
Antara Profesional dan kedekatan emosional(Baturaja, 24
Oktober 2013)
Barangkali
tidak la salah saya mengungkapkan istilah tersebut untuk memulai tulisan ini. Mau
tidak mau suka ataupun tidak suka kebijakan local
boy for local job akan berimbas pada profesionalitas petugas Polri
dilapangan. Sebelum menelisik lebih jauh lagi tentang bagai mana mungkin kedekatan
emosional dapat menguburkan profesionlitas petugas Polri di lapangan ada baiknya
kita memahami konsep tentang local boy
for local job terlebih dahulu.
Penempatan, sebagai salah
satu mata rantai manajemen personalia memiliki arti penting bagi proses
pembinaan karier seorang anggota Polri guna menapaki langkah-langkah
selanjutnya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Proses penempatan seorang
personel Polri tak luput menimbulkan pemikiran yang lebih mendalam lagi bagi
seorang pejabat personalia karena berbagai pertimbangan yang harus dilakukan.
Apakah itu berkaitan dengan keluarganya, faktor like or dislike,Demosi
ataupun Promosi personel yang
bersangkutan pada tempat tugasnya, faktor motivasi tugas,. Penempatan personel
juga sebagai bagian dari proses pemberian tugas dan pekerjaan (Djamin 1995:
70).
Untuk
mengatasi hal tersebut, Polri kemudian meluncurkan konsep rekrutmen personel
melalui pola “Local boy for local job” (personel yang ditempat tugaskan
berdekatan dengan domisili/tanah kelahirannya). Yang menjadi landasan konsep
ini adalah pemberdayaan putra daerah yang telah lulus seleksi menjadi anggota
Polri untuk mengembangkan karir di daerahnya sendiri (lihat Skep Kapolri
No.Pol.: 1359/X/2000 tanggal 20 Oktober 2000 tentang Petunjuk Administrasi Pola
Pembinaan Bintara Polri).
Menurut
saya pribadi hanya ada satu tujuan dari konsep “Local boy for local job”
yaitu sebagai wujud pengembangan konsep community policing
atau pemolisian berbasis komunitas yang mengedepankan kemitraan antara polisi
dan masyarakat dengan salah satu filosofi dasar bahwa dengan adanya kedekatan
emosionalitas antara polri dengan masyarakat di harapkan dapat meredam semua
konflik, kerusuhan dan criminal yg ada dengan harapan masyarakat akan lebih
menghargai seorang Polisi dikarenan ada kedekatan secara Pribadi.(makusuci,gino) Namun apakah dengan hanya modal kedekatan
emosional tersebut saja semuanya akan dapat terwujud sesuai dengan harapan ??
apakah dengan adanya kedekatan hubungan emosioanal tersebut akan dapat
menjadikan seoarang polisi menjadi Profesional ?
POLRES OKU, BANTEN,& LINGGAU |
Lagi,
menurut saya secara pribadi setiap kebijakan dan keputasan selalu ada sisi strength
and weakness , namun menurut saya konsep ini lebih banyak kelemahannya kelemahan
terutama terletak pada aspek law
enforcementnya, Saya ambil ilustrasi begini..seoarang Polisi ditugaskan untuk
menyelidiki seorang yg diduga penyupali obat2 terlarang, pada saat si polisi
sudah di lapangan ternyata dia mendapati bahwa org yg sedang di selidiki ini
adalah orang yg pernah berjasa besar terhadap kedua orang tuanya, atau orang tersebut
pernah menolong kelurga si polisi, ataupun si penyupali obat terlarang tersebut
masih ada hubungan kekeluargaan dengan si polisi. yg menjadi pertanyaan apakah si
polisi tersebut akan mampu menegakan hukum secara professional ? jawabanya
kemungkinan nya tidak, karena tidak bisa di pungkiri bahwa budaya masyarakat
ketimuran seperti Indonesia ini sangat menjunjung tinggi toleransi.
Sikap
tolong menolong antar sesama saudara masih sangat di kedepankan di Indonesia . Yang
ada si Polisi tersebut akan berusaha menempuh jalur lain selain Law enforcement
mengapa hal ini dapat terjadi karena pada saat itu petugas
polisi tersebut sedang di benturkan oleh dikatomisasi yg berseberangan antara
keluarga dan Hukum yg harus ditegakan. Hal ini dapat terjadi karena prinsip
local boy for local job, pernyataan saya ini bukan mewakili kebenaran sejatinya
karena masih banyak kok petugas polisi yg mampu tetap profesional walaupun
harus mengorbankan kedekatan emosioanal, namun rasio perbandingannya sangatla
besar.
Seharusnya
(pimpinan polri) mampu bercermin dengan system
hukum di peradilan, bagaimana seoarang hakim tidak boleh menangani perkara yg
tersangka atau korban memiliki kedekatan hubungan emosional. Lain lagi di
Amerika para hakim sebelum melaksanakan sidang mereka di karantina dan di
asingkan beberapa minggu bahkan bulan agar
fikiran serta keputasan yg mereka buat nantinya tdk terintervensi oleh hal
apapun. Mengapa hal ini mereka lakukan tidak lain dan tidak bukan melainkan
agar keputusan yg mereka buat dan di laksanakan secara profesional tanpa ada
embel-embel emosional. Lihat dan perhatikan saja anggota intelijen CIA amerika
antara regu yg satu dgn regu yg lain mereka tdk saling mengetahui apa yg
dikerjakan oleh masing-masing regu , lain lagi jaringan intelijen Inggris M16
malahan mereka tdk saling kenal antara intel yg satu dgn yg lain..sedangkan
agen intelijen Mossad Israil mereka antara sesama anggota intelijen tdk saling
mengetahui tugas masing-masing orang, namun di indoensia sangat menyedihkan
BAHWA JARINGAN INTELIJEN KITA MALAHAN TIDAK SALING MENGETAHUI APA YANG HARUS DI
KERJAKAN ..HEHEH JUCT KIDDING INI..UDA MULAI NGANTUK…..kembali ke pembahasan
Prinsip
local boy for local job tidak lah salah namun alangkan baiknya apabila prinsip
the right man on the right job yg lebih di kedepan kan artinya penempatan yg
berbasiskan kemampuan itu yg lebih jauh lebih utama .wassalam…..