Sabtu, 21 Februari 2015

Yurisprudensi atau tidak Kasus"Budi Gunawan" ?

Pengabulan gugatan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh hakim tunggal Sarpin Rizaldi dengan No Putusan  04/Pid.Pra/2015/PN.Jks pada hari senin tanggal 16 februari 2015 menjadi  babak baru proses penegakan hukum (law inforcement) di Indonesia. 
Menurut hakim Sarpin Penetapan tersangka yang disematkan kepada Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan oleh Pimpinan komisioner KPK dinilai tidak sah secara yuridis. walaupun dalam sidang sebelumnya, pengacara KPK sebagai pihak termohon getol berpendapat bahwa permohonan BG atas penetapan dirinya sebagai tersangka tidak termasuk objek praperadilan dan melanggar asas legalitas hukum pidana. Namun, hakim tunggal sarpin berpendapat bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan termaksud penetapan sebagai tersangka merupakan tindakan upaya paksa dan bisa dipraperadilkan. Kurang lebih itula sekelumit perdebatan yang terjadi pada saat sidang praperadilan penetapan tersangka Calon Kapolri “BG” yang pada akhirnya hakim tunggal Sarpin mengabulkan Gugatan Komjen Pol Budi Gunawan atas pihak tergugat yaitu KPK.
Untuk mengingat kembali ingatan kita mengenai Pra peradilan berikut akan saya kutip definisi Praperadilan berdasarkan KUHAP. Praperadilan adalah : wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:
  • Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka;
  • Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  • Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.(http://www.kantorhukum-lhs.com)
Dari penjabaran tersebut di atas kita sepakat bahwa tujuan dari sidang Praperadilan adalah segala upaya, tindakan dan wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya Proses penyelidikan, penyidikan atau upaya paksa lainnya yang sedang dilakukan oleh penyidik dan atau permintaan rehabilitasi dan ganti rugi. Dan kita juga sepakat bahwa kewenangan Praperadilan yang dimiliki pengadilan Negeri hanya dapat dilakukan apa bila ada pihak yang melakukan penggugatan.
Pada kesempatan kali ini penulis tidak akan mengulas ataupun mengkritisi apakah penetapan tersangka terhadap BG merupakan objek praperadilan atau bukan. karena, penulis tidak memiliki disiplin ilmu yang mendalam dalam bidang tersebut. Namun, sebagai aparat penegak hukum yang tugas tanggung jawab serta wewenang jabatan selalu berkaitan dalam proses penegakan hukum  baik dalam rangkaian penyelidikan, penyidikan maupun upaya paksa seperti penangkapan, penyitaan, penahan ataupun penggeledahan, kini dalam diri ini timbul beberapa pertanyaan dan akan sangat mungkin kelak jawaban dari pertanyaan tersebut akan kita temui dalam proses penegakan hukum dikemudian harinya.
Pertanyaan Yang sangat mendasar yang timbul dalam benak saya pasca pengabulan Guguatan BG adalah: apakah Putusan Hakim Tunggal Sarpin Rizaldi dengan No Putusan  04/Pid.Pra/2015/PN.Jks dalam menangani Kasus Penetapan Tersangka Komjen Pol Budi Gunawan dapat menjadi acuan atau Yuris prudensi dalam putusan-putusan hakim selanjutnya dalam hal kasus yang sama ? dan apakah kuputusan hakim Sarpin tersebut secara de facto and de jure  akan serta merta menjadi hukum positif atau ius constitutum di Indonesia secara Nasioanal ?
Jika muara seluruh pertanyaan saya tersebut jawabannya adalah iya.” Maka, ini adalah sinyalement kemenangan masyarakat. namun, pada dimensi yang lain  jika muara seluruh pertanyaan saya tersebut jawabannya adalah juga iya. berarti, kasus ini menjadi alarm bagi seluruh penyidik yang ada di Indonesia dalam kaitan proses penegakan Hukum. 
Sinyalemen kemenangan masyarakat. kenapa saya berpendapat demikian, ya kurang lebih setidaknya Kasus ini akan menjadi Pelopor bahwa penetepan tersangka yang di lakukan tanpa melalui mekanisme dan tata cara yang diatur dalam KUHAP atau undue proces of law  atau akibat dari ketidak profesionalan penyidik-penyidik  yang menangani suatu perkara akan berimbas pada kasus yang sedang mereka tangani. efek yang paling besar dari ketidak profesional itu adalah bisa jadi dipraperadilkan seperti halnya kasus "BG".  Melalui kasus ini juga masyarakat seakan mendapat cambuk yang akan mendorong mereka untuk mengkritisi segala tindakan-tindakan penyidik agar segala sesuatunya dapat dilakukan secara prosedural.
Pada Dimensi yang lan kasus ini menjadi alarm bagi Seluruh Penyidik Polri, atau Jaksa ataupun aparatur penegak hukum lain yang berwenang melakukan Penyelidikan dan Penyidikan yang akan  menetapkan status seseorang menjadi tersangka. Maksudnya, manakala penetapan tersangka tersebut belum memenuhi syarat dan ketetentuan yang diatur dalam KUHAP maka besar kemungkinan para penyidik akan dipraperadilakan. walaupun Penetapan tersangka sebagai objek Praperadilan masi menjadi Polemik apakah masuk rana Objek yang dapat di praperadilkan atau tidak. Namun, sekali lagi saya tekankan bahwa jika Keputusan Hakim Rizaldi dalam putusan No Putusan  04/Pid.Pra/2015/PN.Jks menjadi Yurisprudensi dan menjadi acuan Hakim dalam menangani kasus yang sama maka, haqqul yakin  saya pastikan gugatan Praperadilan atas Penetapan tersangka yang belum memenuhi sayarat sebagai mana yang tercantum dalam KUHAP akan selalu dimenangkan Oleh penggugat karena kasus “BG” yang menjadi acuanya. Sebenarnya sangat ironis dilain sisi Unsur-unsur actus reusnya mungkin memang ada, namun, lantaran ada sedikit kesalahan Formil maupun Materil yang dilakukan Oleh penyidik, membuat suatu Perkara harus dihentikan. Mungkin timbul lagi pertanyaan dalam diri kita Kok bisa begitu ?
Mungkinn Beginila Penjelasannya. Suatu ketika  perkara disidang Praperadilan dimenangkan oleh penggugat maka filosofi hukumnya  tidak akan  memandang apakah ada unsur actus reusnya disana. apakah pembuktian-pembuktian yang lainnya yang berkaitan dengan seseorang yang sedang dipersangkakan sudah terpenuhi sebagai bukti permulaan yang cukup, namun pada rangkain penyidikan berikutnya terjadi kekeliruan, kehilafan dan kesalahan yang dilakukan oleh penyidik baik kesalahan Formil maupun materil maka apa bila penggugat memenangkan gugatannya di pengadilan maka dengan serta merta kasus tersebut gugur demi hukum dan tidak bisa di lanjutkan alias disetop. dengan kata lain keputusan Praperadilan merupakan keputusan yang inkra tetap dan mengikat “ Azas Nebis In Idem”
Dalam kasus "BG" saya lebih cenderung berpendapat bahwa opini Publik sudah bias, jauh dari esensi materil pembuktian yang berusaha diungkap oleh "KPK".  Pembiasan opini masyarakat dalam kasus ini bukan tanpa sebab. pembiasan opini masyarakat dalam kasus ini dapat terjadi lantaran ada sifat arogansi dan abuse of power yang di lakukan oleh beberapa oknum pimpinan Komisioner KPK yang serta merta menetapkan status "BG" sebagai tersangka melalui media tanpa didasari dengan bukti permulaan yang cukup. Seandainya oknum-oknum pimpinan komisioner KPK tersebut mau sedikit bersabar dan mau menunggu sedikit lebih lama sampai semua pembuktian  dan pemeriksaan saksi-saksi sudah rampung tentunya penetapan tersangka oleh Pimpinan komisioner KPK terhadap "BG" tidak akan menimbulkan Opini yang bias di masyarakat dan tidak akan menjadi polemik seperti sekarang ini.
Pembiasan Opini yang saya maksud Dalam kasus ini adalah perhatian publik sudah cenderung mengarah kepada bahwa "bukti permulaan yang cukup" berdasarkan KUHAP tidak dimiliki Oleh pihak "KPK" namun sudah berani menetapkan "BG" sebagai tersangka lantaran ingin menjegal sang jenderal agar urung menjadi orang No 1 di korps Bhayangkara. itula kurang lebih opini yang berkembag cukup masiv di masyarakat kita sekarang ini. Nan jauh disana masyarakat sudah alpa untuk berfikir kritis dan menyelipkan pertanyaan dalam hati apakah benar-benar ada actus reus dalam kasus ini yang di lakukan Oleh "BG". apakah benar-benar ada perbuatan yang melanggar hukum seperti yang dipersangkahkan oleh KPK terhadapa "BG" apakah benar-benar ada perbuatan melawan Hukum yang Dilakukan Sang jenderal Pada saat dia menjabat Karobinkar dan Deputi sumber daya Manusia Polri preode 2003-2006. Entahlah...hanya Allah yang maha mengetahui.
Tugas kita selanjutnya hanyalah harus lebih sedkit berhati-hati lagi, teliti, cermat, Prosedural, profosional, profesional dan menghilangkan sifat arogansi abuse of power dalam rangka upaya penegakan hukum. Karena sedikit kesalahan yang kita lakukan baik kesalahan Formil maupun materil akan menjadi bomerang bagi penyidik itu sendiri. perkara apakah kasus "BG"ini menjadi Yurisprudensi atau tidak kesemuanya tidak la masalah asalkan kita melakukan segala sesuatu dalam rangka penegakan hukum dilakukan secara prosedural.  
Diakhir tulisan saya ini saya ingin mengutif kata-kata yang disampaikan oleh Bpk Yth. Irjen Pol Prof Dr. Ihza Fadri pada kunjungan kerja di Wilayah Hukum kabupaten OKU beberap waktu yang lalu bahwa. Beliau berkata “ Tidak ada para penyidik maupun penyidik pembantu, ataupun anggota kepolisian yang lainnya yang mengambil tindakan ataupun keputusan berkaiatan dengan penangan perkara pida na berdasarkan keputusan personalnya saja berdasarkan kemauan dirinya seorang saja. Karena sejatinya setiap keputusan dan atau kebijakan  yang berkaitan dengan tindak pidana bukan rana keputusan yang bersifat individual namun masuk dalam rana yang bersifat kolektif fungsioanal” (Baturaja..22 februari 2015)