Pengabulan gugatan Komisaris
Jenderal Polisi Budi Gunawan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh hakim
tunggal Sarpin Rizaldi dengan No Putusan 04/Pid.Pra/2015/PN.Jks pada hari
senin tanggal 16 februari 2015 menjadi babak baru proses penegakan hukum
(law inforcement) di Indonesia.
Menurut hakim Sarpin Penetapan
tersangka yang disematkan kepada Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan oleh
Pimpinan komisioner KPK dinilai tidak sah secara yuridis. walaupun dalam sidang
sebelumnya, pengacara KPK sebagai pihak termohon getol berpendapat bahwa
permohonan BG atas penetapan dirinya sebagai tersangka tidak termasuk objek
praperadilan dan melanggar asas legalitas hukum pidana. Namun, hakim tunggal
sarpin berpendapat bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan
tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan termaksud penetapan sebagai
tersangka merupakan tindakan upaya paksa dan bisa dipraperadilkan. Kurang lebih
itula sekelumit perdebatan yang terjadi pada saat sidang praperadilan penetapan
tersangka Calon Kapolri “BG” yang pada akhirnya hakim tunggal Sarpin
mengabulkan Gugatan Komjen Pol Budi Gunawan atas pihak tergugat yaitu KPK.
Untuk mengingat kembali ingatan kita
mengenai Pra peradilan berikut akan saya kutip definisi Praperadilan berdasarkan
KUHAP. Praperadilan adalah : wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutus tentang:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.(http://www.kantorhukum-lhs.com)
Dari penjabaran tersebut di atas
kita sepakat bahwa tujuan dari sidang Praperadilan adalah segala upaya,
tindakan dan wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan negeri untuk memeriksa sah
atau tidaknya Proses penyelidikan, penyidikan atau upaya paksa lainnya yang
sedang dilakukan oleh penyidik dan atau permintaan rehabilitasi dan ganti rugi.
Dan kita juga sepakat bahwa kewenangan Praperadilan yang dimiliki pengadilan
Negeri hanya dapat dilakukan apa bila ada pihak yang melakukan penggugatan.
Pada kesempatan kali ini penulis
tidak akan mengulas ataupun mengkritisi apakah penetapan tersangka terhadap BG
merupakan objek praperadilan atau bukan. karena, penulis tidak memiliki
disiplin ilmu yang mendalam dalam bidang tersebut. Namun, sebagai aparat
penegak hukum yang tugas tanggung jawab serta wewenang jabatan selalu berkaitan
dalam proses penegakan hukum baik dalam rangkaian penyelidikan,
penyidikan maupun upaya paksa seperti penangkapan, penyitaan, penahan ataupun
penggeledahan, kini dalam diri ini timbul beberapa pertanyaan dan akan sangat
mungkin kelak jawaban dari pertanyaan tersebut akan kita temui dalam proses
penegakan hukum dikemudian harinya.
Pertanyaan Yang sangat mendasar yang
timbul dalam benak saya pasca pengabulan Guguatan BG adalah: apakah Putusan
Hakim Tunggal Sarpin Rizaldi dengan No Putusan 04/Pid.Pra/2015/PN.Jks dalam
menangani Kasus Penetapan Tersangka Komjen Pol Budi Gunawan dapat menjadi acuan
atau Yuris prudensi dalam putusan-putusan hakim selanjutnya dalam hal
kasus yang sama ? dan apakah kuputusan hakim Sarpin tersebut secara de facto
and de jure akan serta merta menjadi hukum positif atau ius
constitutum di Indonesia secara Nasioanal ?
Jika muara seluruh pertanyaan saya tersebut
jawabannya adalah iya.” Maka, ini adalah sinyalement kemenangan
masyarakat. namun, pada dimensi yang lain jika muara seluruh pertanyaan
saya tersebut jawabannya adalah juga iya. berarti, kasus ini menjadi alarm bagi
seluruh penyidik yang ada di Indonesia dalam kaitan proses penegakan
Hukum.
Sinyalemen kemenangan masyarakat.
kenapa saya berpendapat demikian, ya kurang lebih setidaknya Kasus ini akan
menjadi Pelopor bahwa penetepan tersangka yang di lakukan tanpa melalui
mekanisme dan tata cara yang diatur dalam KUHAP atau undue proces of
law atau akibat dari ketidak profesionalan penyidik-penyidik
yang menangani suatu perkara akan berimbas pada kasus yang sedang mereka
tangani. efek yang paling besar dari ketidak profesional itu adalah bisa jadi
dipraperadilkan seperti halnya kasus "BG". Melalui kasus ini juga masyarakat seakan
mendapat cambuk yang akan mendorong mereka untuk mengkritisi segala
tindakan-tindakan penyidik agar segala sesuatunya dapat dilakukan secara
prosedural.
Pada
Dimensi yang lan kasus ini menjadi alarm bagi Seluruh Penyidik Polri, atau
Jaksa ataupun aparatur penegak hukum lain yang berwenang melakukan Penyelidikan
dan Penyidikan yang akan menetapkan
status seseorang menjadi tersangka. Maksudnya, manakala penetapan tersangka
tersebut belum memenuhi syarat dan ketetentuan yang diatur dalam KUHAP maka
besar kemungkinan para penyidik akan dipraperadilakan. walaupun Penetapan
tersangka sebagai objek Praperadilan masi menjadi Polemik apakah masuk rana
Objek yang dapat di praperadilkan atau tidak. Namun, sekali lagi saya tekankan
bahwa jika Keputusan Hakim Rizaldi dalam putusan No Putusan
04/Pid.Pra/2015/PN.Jks menjadi Yurisprudensi
dan menjadi acuan Hakim dalam menangani kasus yang sama maka, haqqul yakin saya pastikan gugatan Praperadilan atas
Penetapan tersangka yang belum memenuhi sayarat sebagai mana yang tercantum
dalam KUHAP akan selalu dimenangkan Oleh penggugat karena kasus “BG” yang
menjadi acuanya. Sebenarnya sangat ironis dilain sisi Unsur-unsur actus reusnya
mungkin memang ada, namun, lantaran ada sedikit kesalahan Formil maupun Materil
yang dilakukan Oleh penyidik, membuat suatu Perkara harus dihentikan. Mungkin
timbul lagi pertanyaan dalam diri kita Kok bisa begitu ?
Mungkinn Beginila Penjelasannya. Suatu
ketika perkara disidang Praperadilan dimenangkan oleh penggugat maka
filosofi hukumnya tidak akan memandang apakah ada unsur actus
reusnya disana. apakah pembuktian-pembuktian yang lainnya yang berkaitan
dengan seseorang yang sedang dipersangkakan sudah terpenuhi sebagai bukti
permulaan yang cukup, namun pada rangkain penyidikan berikutnya terjadi
kekeliruan, kehilafan dan kesalahan yang dilakukan oleh penyidik baik kesalahan
Formil maupun materil maka apa bila penggugat memenangkan gugatannya di
pengadilan maka dengan serta merta kasus tersebut gugur demi hukum dan tidak
bisa di lanjutkan alias disetop. dengan kata lain keputusan Praperadilan
merupakan keputusan yang inkra tetap dan mengikat “ Azas Nebis In Idem”
Dalam kasus "BG" saya
lebih cenderung berpendapat bahwa opini Publik sudah bias, jauh dari esensi
materil pembuktian yang berusaha diungkap oleh "KPK". Pembiasan
opini masyarakat dalam kasus ini bukan tanpa sebab. pembiasan opini masyarakat
dalam kasus ini dapat terjadi lantaran ada sifat arogansi dan abuse of power
yang di lakukan oleh beberapa oknum pimpinan Komisioner KPK yang serta merta
menetapkan status "BG" sebagai tersangka melalui media tanpa didasari
dengan bukti permulaan yang cukup. Seandainya oknum-oknum pimpinan komisioner
KPK tersebut mau sedikit bersabar dan mau menunggu sedikit lebih lama sampai
semua pembuktian dan pemeriksaan
saksi-saksi sudah rampung tentunya penetapan tersangka oleh Pimpinan komisioner
KPK terhadap "BG" tidak akan menimbulkan Opini yang bias di
masyarakat dan tidak akan menjadi polemik seperti sekarang ini.
Pembiasan Opini yang saya maksud
Dalam kasus ini adalah perhatian publik sudah cenderung mengarah kepada bahwa
"bukti permulaan yang cukup" berdasarkan KUHAP tidak dimiliki
Oleh pihak "KPK" namun sudah berani menetapkan "BG" sebagai
tersangka lantaran ingin menjegal sang jenderal agar urung menjadi orang No 1
di korps Bhayangkara. itula kurang lebih opini yang berkembag cukup masiv di
masyarakat kita sekarang ini. Nan jauh disana masyarakat sudah alpa untuk
berfikir kritis dan menyelipkan pertanyaan dalam hati apakah benar-benar ada actus
reus dalam kasus ini yang di lakukan Oleh "BG". apakah
benar-benar ada perbuatan yang melanggar hukum seperti yang dipersangkahkan
oleh KPK terhadapa "BG" apakah benar-benar ada perbuatan melawan
Hukum yang Dilakukan Sang jenderal Pada saat dia menjabat Karobinkar dan Deputi
sumber daya Manusia Polri preode 2003-2006. Entahlah...hanya Allah yang maha
mengetahui.
Tugas kita selanjutnya hanyalah
harus lebih sedkit berhati-hati lagi, teliti, cermat, Prosedural, profosional,
profesional dan menghilangkan sifat arogansi abuse of power dalam rangka upaya penegakan hukum. Karena sedikit
kesalahan yang kita lakukan baik kesalahan Formil maupun materil akan menjadi
bomerang bagi penyidik itu sendiri. perkara
apakah kasus "BG"ini menjadi Yurisprudensi atau tidak kesemuanya
tidak la masalah asalkan kita melakukan segala sesuatu dalam rangka penegakan
hukum dilakukan secara prosedural.
Diakhir tulisan saya ini saya ingin
mengutif kata-kata yang disampaikan oleh Bpk Yth. Irjen Pol Prof Dr. Ihza Fadri
pada kunjungan kerja di Wilayah Hukum kabupaten OKU beberap waktu yang lalu
bahwa. Beliau berkata “ Tidak ada para penyidik maupun
penyidik pembantu, ataupun anggota kepolisian yang lainnya yang mengambil tindakan
ataupun keputusan berkaiatan dengan penangan perkara pida na berdasarkan
keputusan personalnya saja berdasarkan kemauan dirinya seorang saja. Karena
sejatinya setiap keputusan dan atau kebijakan
yang berkaitan dengan tindak pidana bukan rana keputusan yang bersifat individual
namun masuk dalam rana yang bersifat kolektif fungsioanal” (Baturaja..22
februari 2015)